Nomor: 39/Siaran Pers/AL/LI.04.01/10/2021

UNTUK DITERBITKAN SEGERA

Jakarta, 18 Oktober 2021

 

Semangat Konstitusi Memberikan Kewenangan Seleksi Hakim ad hoc

di MA kepada Komisi Yudisial

 

Jakarta (Komisi Yudisial) – Pernyataan kuat di atas dikmukakan beberapa ahli terkemuka di bidang reformasi peradilan. Melalui kerjasama dengan the Belgian High Council of Justice (HCJ) dan Tilburg Law School, Komisi Yudisial (KY) mengadakan webinar internasional (12/10) dengan topik “The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium”. Salah satu isu yang dibahas adalah mengenai permohonan uji materi terhadap konstitusionalitas kewenangan KY dalam melakukan seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA). Isu tersebut muncul dari pertanyaan yang diangkat salah seorang peserta.

 

Maurice Adams, Profesor General Jurisprudence dari Tilburg Law School, membawa sudut pandang konstitusional. Beberapa elemen dari pernyataannya adalah sebagai berikut.

 

“Dalam mempersiapkan pertemuan ini, saya membaca rumusan Konstitusi Indonesia. Kita dapat melihat Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi: ‘KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim’.”

 

Ia menekankan bahwa, “Dengan membaca ketentuan ini, dalam pandangan saya, hakim ad hoc tidak dikecualikan karena mereka pada dasarnya adalah hakim. Mereka adalah hakim dan karenanya dicakup dalam norma Konstitusi ini”.

 

Menurut Adams, semangat konstitusi Indonesia tampaknya adalah: (1) independensi merupakan hal yang sangat penting; dan (2) Komisi Yudisial memiliki peran penting untuk menjaga independensi dan integritas para hakim. Jika benar demikian, menurut Maurice, maka hakim reguler maupun hakim ad hoc harus melalui sistem seleksi dan pengawasan (yang lebih baik) dari Komisi Yudisial.

 

Ia melanjutkan bahwa jika satu jenis hakim, dalam hal ini hakim agung, diseleksi melalui Komisi Yudisial, dan jenis hakim lain, yaitu hakim ad hoc di MA, diseleksi tanpa melalui Komisi Yudisial, sama artinya dengan menyalahi semangat konstitusi.

 

Adams juga menyampaikan pesan agar tidak membatasi diri pada independensi individual hakim, dengan hanya memilih dan merekomendasikan hakim yang berintegritas untuk diangkat di MA. Bagaimana para hakim berperilaku satu sama lain di MA, yang merupakan manifestasi independensi internal, juga perlu diberi perhatian.

 

Jike demikian artinya, pintu depan ditutup untuk menjaga integritas peradilan, tetapi pintu belakang dibuka bagi hadirnya intervensi. Dengan kata lain, jika hakim ad hoc tidak diseleksi melalui Komisi Yudisial, akan hadir peluang terjadinya masalah yang berkaitan dengan independensi internal hakim.

 

Dan semangat Konstitusi, ia menjelaskan, dapat ditemukan dalam alasan mengapa KY didirikan, yaitu menjaga integritas hakim dan mencegah korupsi. “Ini adalah cara membaca yang fair mengenai sistem Indonesia. Saya akan terkejut apabila untuk jenis hakim tertentu tidak diperlukan proses pemeriksaan terhadap integritas yang memadai”, ujarnya.

 

Berangkat dari diskusi mengenai persamaan antara hakim ad hoc dan hakim agung, Dian Rositawati, seorang akademisi yang menekuni isu peradilan, menegaskan bahwa hakim ad hoc di MA adalah hakim di Mahkamah Agung.

 

“Apabila kita melihat ke Konstitusi, kata kuncinya adalah “KY memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Pertanyaannya, “Apakah hakim ad hoc di MA termasuk dalam pengertian hakim agung?” Jawabannya adalah iya. Bagi saya, hal ini jelas bahwa hakim ad hoc di MA memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan tugas hakim tingkat kasasi di MA”.

 

Ia menambahkan bahwa “Dari berbagai peraturan terkait seleksi hakim, kita dapat melihat bahwa tidak ada perbedaan antara hakim ad hoc di MA dengan hakim agung. Hal ini berarti tidak ada celah terkait kewenangan KY dalam melakukan seleksi bagi hakim di tingkat MA”.

 

“Kita dapat memperhatikan dari seleksi yang selama ini dilakukan oleh KY. Bahwa tidak ada persoalan dan isu intervensi terhadap kewenangan. Jika model seleksi diubah, maka kemungkinan akan timbul persoalan menyangkut independensi, terutama independensi internal, dan pada akhirnya, independensi substansial dan personal dari hakim”, ia menjelaskan kemungkinan dampak yang akan timbul dari kasus ini.

 

Sejalan dengan ahli lainnya, Geert Vervaeke, Dekan Tilburg Law School sekaligus mantan Presiden HCJ, juga mengemukakan argumentasi terkait model seleksi hakim.

 

“Sebenarnya apabila terdapat satu sistem seleksi hakim, maka sistem itu seharusnya berlaku untuk semua kategori hakim. Namun, apabila tidak, seperti Prof Adams katakan dengan jelas, kita sedang membuka satu pintu di satu sisi, meskipun di sisi yang lain kita ingin menutupnya”.

 

Ia juga menyinggung perspektif masyarakat, “…[J]uga untuk masyarakat, menurut saya, hal ini tidak dapat dimengerti bahwa: pada suatu waktu Anda dapat diperiksa oleh hakim yang mengikuti sistem seleksi tertentu. Sementara itu, pada kasus atau situasi yang lain diperiksa oleh hakim yang mengikuti sistem seleksi yang sama sekali berbeda”.

 

“Untuk keselarasan, setidaknya dari sudut pandang masyarakat, sebuah sistem yang konsisten untuk semua hakim, yang secara otonom bertugas untuk memutus perkara, adalah yang terbaik”, sambungnya.

 

Binziad Kadafi, Komisioner KY, mengemukakan bahwa “KY sudah menyusun berbagai argumentasi untuk melawan permohonan uji materi ini, yang dapat dianggap sebagai permohonan yang coba-coba, tanpa dilengkapi argumentasi yang kuat”.

 

Ia menyatakan bahwa salah satu argumen yang dibangun adalah prinsip independensi internal. Independensi internal hakim, termasuk hakim ad hoc di MA, menegaskan bahwa hakim tidak boleh diganggu melalui potensial intervensi dari hakim lainnya.

 

“Terlepas bahwa hakim ad hoc secara administratif berbeda dari hakim agung, ketika mereka membentuk satu majelis untuk memeriksa dan memutus perkara yang spesifik (yang mana menjadi bagian dari kewenangan hakim ad hoc), keduanya memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang sama dalam memeriksa dan menerbitkan putusan”.

 

“Dapat dibayangkan bahwa hakim agung di MA memiliki kewenangan “lebih”, dalam arti melakukan seleksi dan memilih hakim ad hoc di MA yang nantinya akan duduk bersama sebagai satu majelis dengannya, maka hal ini berpotensi mengganggu independensi internal dari hakim ad hoc”, ia menegaskan potensi dampak yang akan terjadi apabila Mahkamah Konstitusi menerima permohonan ini.

 

Ia juga menjelaskan mengenai karakter dasar sekaligus pengalaman KY dalam menyelenggarakan seleksi hakim. “Kita seharusnya mengakui bahwa KY, berdasarkan rumusan Konstitusi, dirancang sebagai institusi yang menjalankan checks and balances terhadap kemandirian peradilan, terutama untuk menyelenggarakan seleksi secara objektif bagi hakim agung dan hakim ad hoc di MA”.

 

“Selanjutnya, dari waktu ke waktu, KY juga sudah membangun infrastruktur terkait tujuan itu. Sebagai contoh, di KY ada Biro Investigasi dan Biro Rekrutmen Hakim yang secara terus-menerus meningkatkan profesionalismenya. KY juga memiliki jaringan yang luas yang dapat secara partisipatif, objektif, dan komprehensif mendukung KY dalam menyelenggarakan seleksi. Pada akhirnya, apabila calon yang layak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka penerima manfaat yang utama dari seleksi ini adalah masyarakat dan pencari keadilan”.

 

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

 

Juru Bicara KY

Miko Ginting

Hp: 087822626362

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Pusat Analisis dan Layanan Informasi KY  

Jl. Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat, 

(021) 3906189

www.komisiyudisial.go.id

email: humas@komisiyudisial.go.id

Tanggal Posting: 18 Okt 2021 | Unduh