Jakarta (Komisi Yudisial) - Memasuki hari kedua seleksi wawancara calon hakim agung diikuti 5 calan pada kamar pidana, Selasa (17/10) di Auditorium KY, Jakarta. Para calon akan diuji oleh panelis yang terdiri dari Pimpinan dan Anggota KY, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto dari unsur kenegarawanan dan H. Parman Suparman yang merupakan mantan hakim agung Ketua Kamar Pidana.
Dalam sesi wawancara, calon pertama Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Aceh Ainal Mardhiah dimintai pandangannya tentang perdebatan yang muncul di publik mengenai penting atau tidaknya mens rea dalam perkara pidana. Calon yakin menjawab bahwa perkara pidana tidak harus mengandung mens rea.
“Perbuatan ketidakhati-hatian yang menyebabkan orang lain terluka atau kehilangan nyawa, maka termasuk tindak pidana tetapi memang tidak ada niat. Kesalahan itu bisa terjadi atas kesengajaan, ada pula karena ketidakhati-hatian. Jadi, seseorang bisa dihukum karena atas dua hal tersebut," elas Ainul.
Kemudian calon ditanya hal lain mengenai penerapan keadilan restoratif. Calon menjelaskan bahwa gagasan keadilan restoratif sudah dijalankan hakim bahkan sebelum ramai digaungkan. Tahun 2009, saat calon menjadi pimpinan di Pengadilan Banda Aceh, keadilan restoratif sudah dilaksanakan dengan bersandar pada SKB antara Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) mengenai Penyelesaian Perkara Anak.
“Berjalannya waktu, untuk MA tahun 2020 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum mengeluarkan SK Nomor 1691 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif. Di lapangan sudah diterapkan, pernah saya terapkan pada penyelesaian perkara," ungkap Ainul.
Panelis kembali menggali mengenai keteguhan calon dalam menjalankan keadilan restoratif dengan mempertanyakan apakah pengunaan SK Dirjen Badilum Nomor. 1691 sebagai dasar hukum cukup kuat untuk hakim memutus. Dengan alasan tujuan penegakan hukum, calon menyatakan bisa digunakan.
Calon dengan mengedepankan kepastian hukum dan keadilan meyakini bahwa perkara yang menyangkut dua pihak, jika keduanya telah memaafkan dan kerugian yang dapat dinilai bisa dilakukan musyawarah sampai menemukan titik temu, maka keadilan restoratif dapat diimplementasikan. (KY/Halimatu/Festy)