Merekonstruksi Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim
Oleh:
Kelompok 3
Putri Amalia, Andi Lolo Gunawan, Nur Azizah Batari, Genaro Samuel T.W.B, Nur Hidayanti
Kader Klinik Etik dan Advokasi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman kerjasama dengan Komisi Yudisial RI
Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki Lembaga Peradilan yang bertugas untuk melindungi kepentingan Hukum dan sekaligus menjalankan perintah Undang-undang. Tujuan dari kepentingan hukum yang ingin dicapai adalah nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam praktiknya, Proses Peradilan akan dipimpin oleh majelis hakim.
Namun kenyataannya, tidak selalu putusan hakim dapat dipandang adil oleh pihak-pihak berperkara. Setelah putusan, tindakan ekspresif dari berbagai pihak akan muncul sebagai wujud respon terhadap putusan yang diberikan oleh majelis hakim.
Yang disesalkan apabila respon tersebut dibarengi dengan tindakan-tindakan yang berlebihan bahkan menjurus ke arah kekerasan atau perbuatan tercela yang ditujukan kepada majelis hakim itu sendiri. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, sudah terdapat puluhan kasus tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan peradilan.
Misalnya: kasus Hakim Sunarso dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2019, yang diserang oleh seorang pengacara bernama Desrizal Chaniago. Ketika proses sidang masih berjalan, Pelaku menyerang hakim tersebut dengan memakai tali ikat pinggangnya sehingga menyebabkan Hakim Sunarso dan beberapa hakim yang lain mengalami luka akibat sabetan ikat pinggang tersebut.[1]
Terbaru pada Agustus 2021, seorang aktivis anti-masker sekaligus penyebar berita hoaks tentang covid-19, bernama Yunus Wahyudi. Terdakwa nekat melakukan penyerangan terhadap hakim Khamozaru Waruwu dari PN Banyuwangi. Dikarenakan merasa putusan hakim dinilai terlalu berat dan tidak adil. Penyerangan dilakukan seusai hakim selesai membacakan vonis putusan, dengan cara pelaku meloncat ke meja majelis hakim dan hendak memukul majelis hakim.[2]
Tindakan-tindakan demikian digolongkan sebagai Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim.
Dalam upaya lebih lanjut memahami secara mendalam mengenai perbuatan merendahkan kehormatan hakim (PMKH), setidaknya ada 2 kata kunci yang harus kita pahami terlebih dahulu. Yaitu Hakim dan Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim (Selanjutnya akan disebut PMKH).
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[3] Mengadili yang dimaksud berupa serangkaian tindakan yang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.[4]
Sedangkan, PMKH adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.[5] Ancaman terhadap kehormatan hakim tersebut dapat berupa ancaman verbal maupun non verbal (fisik).
Hakim merupakan profesi yang memiliki resiko ancaman yang besar. Karena dalam kehidupan bernegara, Hakim dipandang dan ditunjuk sebagai pihak terakhir yang berwenang memutuskan dan memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh masyarakat. Seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan seseorang bahkan menentukan kehidupan seseorang. Pada akhirnya, bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan, Hakim akan menjadi sasaran luapan kekesalan.
Menurut penulis, ada 2 sebab mengapa masih terjadi tindakan penyerangan terhadap kehormatan martabat hakim.
1. Rendahnya bentuk penghormatan terhadap hukum yang berlaku.
Perlu disadari bahwa, keberadaan hukum tidak serta-merta diakui dan dihormati oleh seluruh masyarakat yang ada.
Akan ada sekelompok orang yang kurang menghargai keberadaan hukum itu sendiri dan memandang hak mereka yang seharusnya didahulukan. Ketaatan terhadap hukum yang mereka lakukan, bukan karena mereka menyetujui hukum yang berlaku. Melainkan sikap menolaknya tidak dinyatakan terbuka.
Sikap inilah yang mendorong lahirnya perilaku-perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum salah satunya adanya tindakan merendahkan martabat hakim, mengacaukan proses persidangan dan lain sebagainya.
2. Sebagai bentuk perlawanan
Ketika seseorang melakukan kesalahan dan dituntut untuk bertanggung jawab namun mereka tidak mampu memberikannya, mereka akan tertekan. Akibat tekanan ini, mereka akan mencari cara untuk “melepaskan diri” dari jerat hukum yang ada, atau setidak-tidaknya meluapkan emosi yang dipendam. Ketika jalur “formal” tidak lagi memihak pada diri terdakwa, maka “sifat alamiah” mereka akan mengupayakan berbagai cara agar mereka dapat melepaskan dirinya dari tuntutan termasuk melakukan kekerasan. Atau ketika permintaan mereka tidak didengar, maka aksi-aksi tersebut terjadi. Agar permintaan mereka dipenuhi.
Bentuk perlawanan juga seringkali dilakukan oleh pihak-pihak yang dirasa memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan lembaga peradilan itu sendiri. Kekuatan yang dimaksud dapat berupa jabatan, kekayaan atau jumlah massa yang dimiliki. Dengan menyadari memiliki kekuatan, pihak-pihak ini akan melakukan perlawanan apabila putusan tidak sesuai yang diharapkan.
Jika ditarik ke akar, maka penyebabnya adalah krisis kepercayaan terhadap hukum dan hakim itu sendiri.
Namun perlu diperhatikan pula, bahwa segala tindakan PMKH (walaupun atas dasar memperjuangkan keadilan) tidaklah dapat dibenarkan. Menurut ketentuan pidana, pelaku PMKH dapat dijerat dengan pidana penjara sesuai ketentuan yang diatur dalam pasal 207, 212, 217, 224 dan 351 KUHP. Jika halnya perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang menjalani profesi tertentu, maka hukuman bagi pelaku dapat ditambah sesuai dengan sanksi yang berlaku berdasarkan ketentuan kode etik profesinya.
Penting bagi negara untuk hadir melindungi martabat dan keluhuran profesi hakim itu. Berbicara hakim, maka berbicara pada keberadaan fisik individunya dan sebuah keluhuran profesinya. Sehingga bentuk perlindungan harus ada pada keduanya.
Menghormati profesi hukum bukanlah soal dimensi yuridis semata, tetapi soal kesadaran hukum masyarakat akan keberadaan hukum. Seorang hakim pernah berdiskusi dan menyampaikan hal demikian kepada penulis:
“Seorang individu yang menjalankan profesi hakim tidaklah meminta untuk dihormati, tetapi penghormatan diberikan kepada profesi hakim itu sendiri”
Jika bukan hakim lagi yang dipercaya oleh masyarakat lantas siapa? hanya akan timbul kekacauan apabila “Kewenangan menghakimi” diberikan kepada setiap orang. Sebagaimana hal ini dikenal dengan istilah perilaku “main hakim sendiri”.
Maksud penulis, menumbuhkan kepercayaan terhadap hukum dan hakim yang dibentuk oleh negara, bukan berarti pula menghilangkan “fungsi pengawasan dari masyarakat” terhadap hukum itu sendiri. Melainkan bagaimana masyarakat seharusnya memperjuangkan keadilan melalui cara-cara yang etis dan konstitusional.
Undang-undang telah memberikan jalan, apabila salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan hakim, maka terdapat jalur (kesempatan) yang diberikan oleh negara untuk memperjuangkan hak dan nilai keadilan tersebut yaitu melalui upaya hukum banding.[6]
Tuntutan keadilan dapat dilakukan dengan cara-cara yang formal dan benar, seperti melalui upaya hukum.
Jika dirasa, hakim berperilaku buruk, tidak profesional, bersikap tidak etis, maka pihak yang mengetahui dapat melaporkannya kepada Komisi Yudisial RI (KY). Kedudukan KY sebagai lembaga pengawas perilaku hakim telah diatur dalam Pasal 24B mengenai Komisi Yudisial (KY) dan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dengan dua kewenangan konstitutif : (1) mengusulkan pengangkatan hakim agung dan (2) mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk memudahkan masyarakat (karena jarak) dalam membuat pengaduan, saat ini Kantor perwakilan KY telah hadir di 12 provinsi.[7] Untuk memberikan rasa aman, KY juga akan melindungi identitas pelapor, sehingga jika masyarakat membuat aduan kepada KY, maka identitas pelapor akan dirahasiakan (tidak di publikasi).
Semua ini kembali pada soal kesadaran hukum. Masalah PMKH pun akan teratasi apabila masyarakat seluruhnya memiliki kesadaran hukum. Kesadaran hukum adalah keinginan patuh seseorang terhadap aturan-aturan atau hukum yang berlaku. Kesadaran hukum sangat diperlukan oleh suatu masyarakat, agar ketertiban, kedamaian, dan keadilan dapat diwujudkan dalam masyarakat tersebut. Tanpa memiliki kesadaran hukum yang tinggi, tujuan tersebut akan sangat sulit dicapai.
Tingginya jumlah kasus PMKH di Indonesia menggambarkan masih betapa rendahnya tingkat kesadaran hukum yang ada dalam diri masyarakat saat ini. Masyarakat perlu berbenah. Di tengah perkembangan kualitas masyarakat, pencari keadilan tidak lagi seharusnya menggunakan jalur tradisi/primitif, melainkan melalui proses legal rational. Sehingga bagi masyarakat berbudaya hukum seperti di Indonesia, tindakan amoral sedapatnya ditinggalkan.[8]
Dapat dimengerti bahwa penyerangan terhadap hakim dan kehormatannya, selalu dilandasi atas ketidakpuasan pihak-pihak tertentu atas putusan dan sikap hakim tersebut. ekspresi demikian timbul karena keadilan dipandang tidak berpihak pada pelaku. Namun menempuh “jalur kekerasan” tidaklah menyelesaikan masalah justru menambah masalah.
Semestinya kehormatan profesi hakim perlu dilindungi dan dihormati oleh siapapun. Wibawa dan martabat itu bukan saja dijaga oleh badan peradilan namun dijaga bersama oleh seluruh komponen bangsa. Untuk menunjukkan kepada dunia bahwa betapa negara ini sangat menjunjung tinggi nilai etika, moral dan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim
[1] https://news.detik.com/berita/d-4631387/10-kericuhan-di-pengadilan-dari-hakim-dibunuh-hingga-kobra-disebar/1
[2] https://kbr.id/nusantara/08- 2021/naik_ke_atas_meja__aktivis_antimasker_banyuwangi_menyerang_hakim/106099.html
[3] Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP
[4] Berdasarkan Pasal 1 angka 9 KUHAP
[5] Pasal 1 angka 2 dari Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim
[6] pasal 233 sampai dengan pasal 243 KUHAP
[7] Kantor Perwakilan KY berada di Provinsi: Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
[8] Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”