Panopticon Jiwa, Gagasan Menguatkan Integritas dan Kompetensi Hakim
Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus dalam seminar bertajuk Penguatan Integritas dan Kompetensi Hakim untuk Mewujudkan Visi Badan Peradilan yang Agung, di Ballroom Hotel Red top, Jakarta pada Selasa (21/8).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menawarkan konsep panopticon jiwa yang merubah pola pikir konkret menjadi abstrak. Konsep ini untuk menguatkan sumberdaya hakim terkait integritas dan kapabilitasnya. Hakim diajak berpikir abstrak sehingga merasa selalu ada yang mengawasi.
 
"KY menawarkan konsep panopticon jiwa yang bertujuan untuk menguatkan sumberdaya hakim dalam integritas dan kapabilitasnya. dalam konsep ini, hakim diajak berpikir abstrak dalam memaknai peraturan sehingga menimbulkan perasaan diawasi dan enggan jika melanggarnya," urai Jaja dalam seminar bertajuk Penguatan Integritas dan Kompetensi Hakim untuk Mewujudkan Visi Badan Peradilan yang Agung, di Ballroom Hotel Red top, Jakarta pada Selasa (21/8).
 
Jaja juga mengemukakan bahwa Hal itu jug dapat menguatkan independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
 
"Umumnya masyarakat Indonesia berpikir konkret. Contohnya sering kita mendengar perkataan 'bagaimana nanti'. Nah, justru sebaiknya kita berpikir abstrak. Jadi berpikirnya adalah 'nanti bagaimana'. nanti bagaimana jika melanggar peraturan? Nanti bagaimana dampaknya jika melanggar kode etik? Sederhananya, panopticon jiwa itu konsep berpikir hari esok bukan hanya hari ini," terang Jaja.
 
Sementara menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial Sunarto, badan peradilan yang agung hanya dapat terwujud jika hakim telah bekerja profesional. Ia juga mengungkapkan bahwa hakim profesional tidak dilahirkan, melainkan dibentuk melalui pendekatan spiritual.
 
"Hakim yang profesional dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama adalah intelektualitas yang merupakan hard competence,  skill atau experience dan integritas. Untuk menguatkan tiga hal ini perlu ada niat dan kemauan yang kuat bagi hakim. Untuk itu, perlu ada pendekatan spiritual yang memandang pekerjaannya sebagai ladang ibadah. Jika hal ini dapat dilakukan oleh hakim manfaatnya bukan bagi hakim sendiri juga kepercayaan dari masyarakat sehingga, visi dari badan peradilan yang agung dapat tercapai," tegas Sunarto.
 
Selain Jaja dan Sunarto, hadir juga sebagai Narasumber Guru Besar Filsafat STF Driyakarsa Franz Von Magnis Suseno, dan pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie yang turut menularkan ide dan gagasannya untuk perbaikan dunia hukum Indonesia.  (KY/Adnan/Festy)

Berita Terkait