Hakim Harus Bijak Manfaatkan Medsos
Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) Nugroho Setiadji saat berbicara di hadapan 55 hakim pada kegiatan Sinergitas KY dan Mahkamah Agung (MA) dengan tema "Penerapan KEPPH dalam Bermedia Sosial" di Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Kamis (7/12).

Yogyakarta (Komisi Yudisial) - Hakim adalah representasi dari lembaga peradilan. Hakim wajib menjaga kewibawaan dan kehormatannya sehingga terbangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan sistem hukum.
 
Demikian dikatakan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) Nugroho Setiadji saat berbicara di hadapan 55 hakim pada kegiatan Sinergitas KY dan Mahkamah Agung (MA) dengan tema "Penerapan KEPPH dalam Bermedia Sosial" di Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Kamis (7/12).
 
Dikatakan Nugroho, peradilan dan hakim juga harus terjaga kemandiriannya. Menjaga kemandirian badan peradilan dapat dilakukan dengan menjaga kemandirian lembaga dan kemandirian individual.
 
"Menjaga kemandirian badan peradilan dilakukan dengan cara memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan," ungkap Nugroho.
 
Ditambahkan Nugroho, dalam menjaga kemandirian individual, hakim harus mematuhi dan menjalankan butir-butir Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Hal tersebut juga berlaku bagi hakim yang menggunakan media sosial.
 
Media sosial  dapat memberi keuntungan bagi hakim, yaitu sebagai sumber informasi dan pengetahuan, sarana sosialisasi, dan membantu hakim dalam menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman.
 
Namun, media sosial juga memiliki potensi negatif, yaitu interaksi tidak pernah bersifat privat tetapi selalu bersifat publik. Informasi yang dibagikan melalui media sosial dapat menyebar luas tanpa sepengetahuan atau ijin dari yang membagikan.  
 
"Informasi yang dibagikan ke media sosial terkadang eksis dalam jangka waktu yang panjang bahkan dapat permanen di dunia digital. Terkadang tanpa syarat visual dan vokal, berpotensi terjadi kesalahan penafsiran terhadap informasi yang dibagikan atau dibagikan kembali secara keliru," pungkas Nugroho. (KY/Eka Putra/Festy)

Berita Terkait