Hakim ad hoc HAM Harus Kuasai Hukum Internasional
Diskusi Publik Rekonstruksi Penguatan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Pengisian Jabatan Hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung (MA), Selasa (06/02)

Jakarta (Komisi Yudisial) - Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia adalah pengadilan domestik atau nasional. Disebut unik, karena tidak berafiliasi dengan ketentuan hukum internasional. Namun, Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Dian Rositawati berpandangan bukan berarti seorang hakim ad hoc HAM tidak wajib memahami hukum internasional. Karena karakteristik hukumnya seperti hukum internasional, sehingga sangat penting seorang hakim ad hoc HAM untuk menguasai hal itu. Pelanggaran HAM yang berat adalah merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan unsur-unsur tindak pidana dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diformulasikan berdasarkan Statuta Roma.

 

“Misalnya dalam UU tidak dijelaskan element of crime-nya apa, maka harus dilihat dalam Statuta Roma. Dalam persidangan kasus HAM, maka akan ada tiga hakim ad hoc HAM sehingga otomatis menjadikan mereka menjadi mayoritas. Tentu MA berkepentingan hakim yang dipilih yang berkompeten,” jelas Dian.

 

Hakim Agung Jupriyadi menyambung dengan mengungkap kasus pelanggaran HAM Berat Paniai yang masih mandek di MA. Hal ini karena termasuk dalam kasus pidana khusus, sehingga mau tidak mau MA harus mengikuti UU dengan menghadirkan hakim ad hoc. Selama belum ada hakim ad hoc HAM, maka perkara tersebut juga belum ada kejelasan. 

 

“UU tentang Pengadilan HAM memang sudah seharusnya direvisi. Saya ingat revisi UU Tipikor. Dulu ada ketentuan hakim ad hoc dan hakim karier dengan ketentuan tiga banding dua. Namun akhirnya diubah, yang penting ada satu hakim ad hoc dan karier, dan berjalan sampai sekarang. Jadi kalau tidak diubah, maka akan terus kesulitan karena mencari satu saja susah, apalagi tiga,” beber Jupriyadi. (KY/Noer/Festy)

 


Berita Terkait