CHA Udjianti: Koruptor Lebih Baik Dimiskinkan
Calon hakim agung keempat yang diwawancara pada Rabu (18/10) adalah Hakim Tinggi Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) Udjianti.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung keempat yang diwawancara pada Rabu (18/10) adalah Hakim Tinggi Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) Udjianti. Calon ditanya mengenai hukuman yang paling tepat bagi para koruptor. Ia mengungkapkan bahwa dilihat dari dampak putusannya terhadap terdakwa dan negara, ia memilih putusan pemiskinan.

”Apabila saya memutus perkara tipikor, dari dua alternatif memberi hukuman berat atau pemiskinan, saya condong pada pemiskinan sebagai hukuman terbaik. Selain memberi efek jera bagi terdakwa, keluarga dan masyarakat, aset dari pemiskinan juga dapat digunakan kembali untuk kepentingan negara," jelas Udjianti.

Lebih lanjut, calon juga ditanyakan pendapatnya terkait delik tipikor bukan lagi extraordinary crime melainkan tindak pidana umum yang tertuang dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Namun, calon berkeyakinan bahwa hal itu tidak serta merta menjadikan tipikor sebagai pidana biasa.

“Tidak menghilangkan deliknya sebagai extraordinary crime, karena tipikor dalam KUHP baru itu tidak diatur semua hanya pasal 2A, 3, dan 5. Undang-Undang Tipikor masih eksis seperti pada Pasal 2 ayat (2), yaitu bisa memberikan pidana mati bagi koruptor apabila tipikor dilakukan saat bencana alam, sehingga sifat extraordinary crime masih ada," jelas Udjianti.

Calon juga meyakini bahwa urgensi perkara tipikor dimuat dalam dua undang-undang adalah bentuk ideal dari kodifikasi untuk semua peraturan perundang-undang dalam satu undang-undang. Calon menjelaskan bahwa KUHP memang harus mencakup pidana umum dan khusus. Dimuatnya beberapa pasal tipikor dalam KUHP ini merupakan tahap pertama dari kodifikasi tersebut.

Masih tentang tipikor, calon ditanya mengenai apakah kasus kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga menjadi kerugian negara merupakan sebuah tipikor. Calon tegas berargumen bahwa dalam tipikor kekayaan negara yang ada dalam BUMN adalah objek dari tipikor. Namun dalam memaknai kerugian yang timbul, calon tidak menggeneralisasi kasus. Perkara harus dilihat kasur per-kasus karena aspek itikad harus jadi pertimbangan hakim.

”Arti merugikan ini harus dilihat apakah ada niat dari pengurus BUMN untuk menimbulkan kerugian negara karena pada praktiknya BUMN bisa saja merugi karena salah menerapkan strategi. Dalam bisnis tidak semua yang kita rencanakan akan sesuai dengan apa yang diharapkan” ungkap calon.

Makna Itikad dalam kasus BUMN ini calon menitikberatkan pada maksud pengurus BUMN untuk memperkaya diri sendiri. Sehingga apabila jelas itikad itu ada, maka direksi atau pengurus BUMN dapat dijerat Tipikor oleh hakim. (KY/Halimatu/Festy)


Berita Terkait