CHA Setyanto Hermawan: Pimpinan Pengadilan Harus Lebih Tegas Bila Ada Penyimpangan
Calon hakim agung (CHA) terakhir di hari kedua untuk Kamar Pidana adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Makassar Setyanto Hermawan. Setyanto bercerita pengalamannya sebagai hakim di berbagai daerah menuntut ia harus memahami karakter di daerah tersebut untuk menunjang tugasnya.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung (CHA) terakhir di hari kedua untuk Kamar Pidana adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Makassar Setyanto Hermawan. Setyanto bercerita pengalamannya sebagai hakim di berbagai daerah menuntut ia harus memahami karakter di daerah tersebut untuk menunjang tugasnya.

"Ketika saya di Medan, saya harus jadi orang Medan. Ketika di Jember, saya harus jadi orang Madura. Tidak boleh jadi orang Jawa, karena nanti saya tidak memahami karakter di lingkungan saya," ungkap Setyanto dalam wawancara terbuka, Selasa (17/10) di Auditorium KY, Jakarta.

Setyanto kemudian mencontohkan saat menjadi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Setyanto harus lebih tegas. Saat membangun Zona Integritas (ZI), Setyanto membuat ruangan di PN Medan lebih tertutup, dan diatur siapa saja yang boleh masuk ke ruang hakim dan tidak berhenti melakukan pembinaan kepada hakim-hakim dan pegawai di sana. Setyanto melakukan pembinaan khusus kepada petugas PTSP, bahkan membuat slogan di Ruang PTSP yang berbunyi tidak terima gratifikasi. Jadi masyarakat begitu melihat jadi langsung tahu agar tidak mencoba melakukan hal tersebut. 

Pengalaman Setyanto  menjadi Ketua PN Medan menarik perhatian panelis untuk menggali lebih lanjut. Saat Setyanto baru dilantik sebagai Ketua PN Medan, tetapi sudah ada laporan bahwa juru sita menerima uang, bahkan Setyanto dikirim video buktinya. Setyanto menanyakan hal tersebut kepada panitera, dan diakui memang benar ada. Ternyata oleh ketua sebelumnya, telah dibentuk tim untuk melakukan pemeriksaan, tetapi belum ada kemajuan untuk kasus tersebut. 

“Menurut saya tidak cukup berhenti di situ. Saya buat laporan ke Bawas bahwa telah terjadi pelanggaran kode etik. Oleh Bawas ditindaklanjuti, turun, dan bersangkutan setelahnya diberikan rekomendasi SK punishment diberhentikan dengan hormat,” beber Setyanto.

Setyanto selama di Medan selalu melakukan pembinaan. Setyanto juga mencermati putusan yang dihasilkan oleh majelis di bawahnya. Jika dirasakan ada putusan yang jauh lebih ringan dari tuntutan yang diberikan jaksa penuntut, Setyanto akan memanggil hakim yang menangani perkara tersebut. Setyanto sebagai pimpinan tidak bisa menuduh hakim tersebut melakukan hal yang tidak baik, tetapi putusan yang dihasilkan tersebut akan menimbulkan persangkaan di masyarakat. Setyanto lalu memberikan nasihat agar jangan sama sekali bermain dengan perkara. 

“Tapi memang ada beberapa hakim waktu saya di Medan pada waktu itu membebaskan terdakwa perkara korupsi. Saya sempat ditanya pimpinan (Ketua Pengadilan Tinggi Medan), dan saya sampaikan apa yang saya tahu. Oleh pimpinan hakim tersebut dimutasi. Kejadian itu terjadi saat saya baru masuk,” ungkap Setyanto. 

Setyanto berprinsip selalu bergerak cepat. Ia berupaya mengumpulkan para hakim yang dipimpin untuk menjelaskan bahwa setiap apa yang dilakukan selalu dipantau oleh masyarakat, termasuk putusan. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait