CHA L. Y. Hari Sih Advianto: Hakim Tidak Boleh Berbisnis
Peserta ketiga seleksi wawancara calon hakim agung dari kamar Tata Usaha Negara khusus pajak adalah L. Y. Hari Sih Advianto. Sebagai hakim pengadilan pajak, ia berpendapat bahwa seorang hakim tidak diperbolehkan memiliki bisnis. Karena hal itu ada potensi irisan bagi hakim pajak.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Peserta ketiga seleksi wawancara calon hakim agung dari kamar Tata Usaha Negara khusus pajak adalah L. Y. Hari Sih Advianto. Sebagai hakim pengadilan pajak, ia berpendapat bahwa seorang hakim tidak diperbolehkan memiliki bisnis. Karena hal itu ada potensi irisan bagi hakim pajak. 

"Bisnis selalu bersinggungan dengan pajak dan orang lain. Jika ingin menjadi hakim pajak yang  baik, maka harus pilih salah satu," ujar L. Y. Hari Sih Advianto.

Hari menambahkan, jika dikaitkan dengan KEPPH maka larangan berbisnis masuk dalam butir arif dan bijaksana. Sebagai hakim diharapkan untuk selalu mempertimbangkan perilakunya, jangan sampai apa yang dilakukan menodai martabat sebagai hakim. Bahkan lebih tegas lagi, sebagai hakim pajak yang berasal dari PNS Kementerian Keuangan, Hari menyatakan PNS tidak boleh berbisnis. Namun, ada pengecualian jika bisnis tersebut turunan dari orang tua. Terutama sebagai PNS dari lembaga keuangan dan hakim pajak, pantang bagi Hari untuk membangun atau menjadi konsultan pajak.

“Saya mantan Kemenkeu, di mana dalam kode etik dan nilai etik melarang perbuatan tersebut. Di Direktorat Pajak, ada lembaga pengawasan yang cukup ketat. Perbuatan pegawai yang memberikan konsultasi pajak tidak bisa diterima, dan bisa diberikan sanksi yang berat karena beririsan dengan tugas utama. Saya tidak pernah memberikan konsultasi pajak,” tegas Hari.

Hari ditanyakan mengenai pandangannya tentang Mahkamah Agung (MA) yang membentuk sistem kamar, dan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa peradilan TUN berada satu atap di bawah MA, termasuk peradilan pajak. 

Hari menjelaskan bahwa salah satu alasan MK memutus penyatuatapan peradilan pajak di bawah MA adalah untuk menjaga kesatuan, sehingga disparitas putusan tidak terjadi. Koordinasi dan pembinaan bisa dilakukan dalam kesatuan, jadi putusan MK lebih  bersifat koordinasi dan organisasitoris. 

Hari dan rekan hakim pajak lainnya bahkan sudah sering menggunakan putusan TUN sebagai pedoman dalam membuat putusan. Hari berpendapat pengadilan pajak tidak dapat  menolak penyatuan ini. Meskipun sampai saat ini Keppres belum ada. Tidak mudah menyatukan karena status pegawai berbeda, terutama yang dari Kemenkeu. Dari kedua belah pihak telah membentuk tim untuk membahas penyatuan ini.

“Seandainya saya menjadi hakim agung, ketika dilibatkan dalam tim ini saya sudah siap dan akan  senang hati untuk terlibat. Ini momen kunci untuk perbaikan, karena undang-undang peradilan pajak sudah lama dan perlu direvisi,” ujar Hari.

Sebagai CHA, Hari memiliki misi dan visi sebagai hakim agung khusus pajak dengan menggunakan momentum putusan MK ini. Misi Hari lebih luas, yaitu bagaimana mewujudkan kepercayaan publik terhadap perpajakan dan pengadilan pajak. Salah satu indikator kepercayaan kepada peradilan pajak akan membentuk kepercayaan masyarakat untuk secara sukarela membayar pajak.

“Jika menjadi hakim agung, pengaruh saya akan lebih kuat dalam peningkatan citra peradilan pajak,” pungkas Hari. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait