RUU Jabatan Hakim Kembalikan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Dunia Peradilan
Diskusi media "Melanjutkan Dukungan Pembahasan RUU Jabatan Hakim", Selasa (14/5) di Jakarta. Hadir sebagai narasumber, yaitu Ketua KY Jaja Ahmad Jayus, Anggota DPR RI M. Nasir Djamil, dan Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Anggota DPR RI M. Nasir Djamil menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim adalah regulasi yang diperlukan untuk menjawab ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Regulasi tersebut menjadi bahan pijakan untuk menghadirkan apa yang disebut  kemerdekaan seorang hakim dalam memutuskan perkara yang ditangani, sehingga tidak ada intervensi atau pengaruh dari kekuasaan manapun. 
 
“Terkait dengan atmosfer di Mahkamah Agung dan dunia peradilan kita, ada 20 hakim dan 10 tenaga pendukungnya yang kena OTT KPK. Artinya ini persoalan serius. Maka, menghadirkan RUU JH juga ini juga sebagai salah satu resep obat. Harus cermat dan teliti dan mengatur Wakil Tuhan karena posisinya sangat strategis karena menentukan nasib orang sehingga putusan mereka harus merdeka dari pengaruh luar,” ujar Nasir saat menjadi narasumber dalam diskusi media "Melanjutkan Dukungan Pembahasan RUU Jabatan Hakim", Selasa (14/5) di Jakarta.
 
Kemerdekaan itu ada kaitannya dengan kinerja. Bicara kinerja, lanjut Nasir, maka harus bicara mulai dari seleksi, promosi mutasi, pengawasan, dan pembinaan kariernya. 
 
“Oleh karena itu RUU JH kami anggap sebagai upaya untuk mengakhiri penghianatan-penghianatan profesi hukum. Dan diharapkan ke depan tidak ada dualisme dan silang sengketa terkait dengan seleksi. Kami sudah menyelenggarakan rapat pleno di Komisi III, dalam waktu dekat kita akan mengundang Menteri Hukum dan HAM untuk menyegerakan beberapa rancangan UU yang belum selesai. Salah satunya RUU JH. Mudah-mudahan bisa diselesaikan di masa periode ini,” harap Nasir. 
 
Salah satu narasumber lainnya yaitu Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menyampaikan Persepsi Publik Terhadap lembaga Peradilan di Indonesia: Sebuah Perbandingan Survei  (World Justice Project, Transparansi Internasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Indonesian Legal Roundtable).
Nilai Indikator Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) dalam Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka di Indonesia dinilai dari independensi hakim dalam memutus perkara. Pada  2014 nilainya 6,77, sedangkan pada 2017 nilainya 6,70.
 
Untuk independensi hakim terkait manajemen sumber daya hakim pada 2014 nilainya 5,77, sedangkan pada 2017 nilainya 6,30. Independensi hakim terkait kebijakan kelembagaan di 2014 nilainya 5,91, sedangkan pada 2017 nilainya 7,04. Terakhir independensi hakim dari pengaruh publik dan media massa pada 2014 nilainya,4,65, dan di  2017 nilainya 6,53.
 
“Berdasarkan survei yang dilakukan TII, 32 persen publik di Indonesia percaya bahwa lembaga peradilan masih koruptif. Survei itu dilakukan dengan mengambil survei publik terhadap 1000 orang di seluruh Indonesia. Jadi dunia peradilan kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengembalikan kepercayaan publik,” beber Erwin. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait