RUU Jabatan Hakim, Penyeimbang Independensi dan Akuntabilitas Peradilan
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Arsul Sani saat menjadi pembicara dalam Diskusi dan Bedah Buku Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman di Auditorium Rektorat Universitas Muhammadiyah Palembang, Jumat (26/10).

Palembang (Komisi Yudisial) - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Arsul Sani menilai Rancangan Undang Undang (RUU) Jabatan Hakim yang masih dalam pembahasan saat ini sudah mencakup berbagai aspek. Dalam RUU Jabatan Hakim meliputi aspek pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, hingga pemberhentian. RUU ini hadir karena menginginkan adanya Undang-Undang sendiri tentang jabatan hakim yang tersentral. 
 
“Terkait pengangkatan, dalam RUU ini agak bergeser dari hakim dari Sarjana Hukum yang fresh graduate menjadi hakim yang sudah ada pengalamannya baik dari latar belakang hukum yang beragam,” jelas Arsul saat menjadi pembicara dalam Diskusi dan Bedah Buku Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman di Auditorium Rektorat Universitas Muhammadiyah Palembang, Jumat (26/10).
 
Menurut Arsul, tantangan DPR saat ini terkait RUU Jabatan Hakim adalah mencoba menyeimbangkan pembahasan antara menjaga independensi kekuasaan kehakiman dengan akuntabilitas peradilan. 
 
"Tetap ada akuntabilitas yang salah satu sisinya adalah pengawasan, pengawasan ekternal dan non yudisial dilakukan oleh KY. Karena sudah menjadi kesepakatan bernegara ketika dilakukan amendemen ketiga yang melahirkan KY agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, efisien dan efektif,” jelas politisi Partai Persatuan Pembangunan ini.
 
Oleh karena itu, perlu ada pelibatan KY dalam manajemen hakim. Hal ini bukan sebuah bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Poin kritis terhadap pengangkatan hakim seyogianya mekanisme harus melalui panitia seleksi yang objektif, transparan, partisipatif dan akuntabel.
 
“Untuk itulah mekanisme seleksi dalam RUU Jabatan Hakim selain dilakukan oleh MA, juga melibatkan pihak KY,” ujar Arsul.
 
Lebih lanjut Arsul menjelaskan, di dalam RUU Jabatan Hakim juga fokus terhadap pengawasan hakim. Oleh karena itu di dalamnya ada perbedatan mengenai irisan teknis yudisial dan perilaku.
 
RUU Jabatan Hakim ini diharapkan dapat menjawab problematika kondisi peradilan di Indonesia yg sarat judicial corroption.
 
Hal senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang Prof. Marshaal NG. Menurutnya secara teori kemerdekaan kehakiman di Indonesia memang baik. Tetapi kalau ditinjau dari segi praktis, kemerdekaan hakim kadang digunakan untuk kepentingan pribadi.
 
“Teoritis kemerdekaan kehakiman memang baik, tapi praktiknya yang sering menyimpang. Contohnya, hakim masih ada yang menyimpang dan menyalahgunakan wewenang, diantaranya hakim masih melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN),” ucap mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang ini.
 
Menurut Marshal, untuk meluruskan penyimpangan ini KY dan MA harus segera membuat RUU lalu dirumuskan melalui DPR RI.
 
“Tujuannya, supaya hakim dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara benar,” tegas Prof. Marshal.
 
Saat ini cenderung terjadi independensi yang kebablasan, tidak memperhatikan akuntabilitas peradilan sehingga muncul pelanggaran yang dilakukan hakim.
 
"Kita harus memberi rambu-rambu kepada hakim, sehingga tidak kebablasan," ujarnya.
 
Prof. Marshal juga menyoroti terkait status hakim sebagai pejabat negara. Kalau saat ini sebagai pajabat negara tapi PNS berarti bukan wakil Tuhan tapi wakil pemerintah.
 
Hakim adalah wakil Tuhan sehingga perlu pengaturan yang jelas tentang pengawasan agar terhindar penyalahgunaan kekuasaan. Perlu ada manajemen mental sehingga hakim dapat hidup sesuai dengan hukum dan etika.
 
"Perlu ada pengaturan khusus sehingga agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan," pungkas Prof. Marshal. (KY/Jaya/Festy)

Berita Terkait