Hakim Agung Nonkarier Tetap Dibutuhkan
Mantan Ketua MA Bagir Manan saat menjadi pembicara dalam seminar Eksistensi Jalur Nonkarier (Profesional) dalam Rekrutmen Calon Hakim Agung di Gedung KY, Jakarta, Senin (27/8).

Jakarta (Komisi Yudisial) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menimbulkan diskursus terhadap jalur nonkarier dalam  seleksi calon hakim agung (CHA). Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) berpendapat ketersediaan hakim agung yang diisi dari jalur nonkarier haruslah berdasarkan kebutuhan di MA.
 
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari berpendapat, rekrutmen hakim agung di Indonesia merupakan campuran antara sistem karier dan profesional. Untuk hakim tingkat pertama dan banding menggunakan sistem karier. Sementara untuk tingkat MA terbuka bagi karier maupun nonkarier.
 
“KY mengikuti UU, sehingga rekrutmen tetap dibuka untuk jalur hakim agung dari jalur nonkarier maupun karier,” tegas Aidul saat menjadi pembicara dalam seminar Eksistensi Jalur Nonkarier (Profesional) dalam Rekrutmen Calon Hakim Agung di Gedung KY, Jakarta, Senin (27/8).
 
Lanjut Aidul, ada prinsip internasional, yakni fair reflection of society di mana proses dan standar seleksi hukum harus menjamin persamaan keadilan dan keberagaman. Rekrutmen hakim agung harus sesuai dengan prinsip itu. Perlu ada komposisi yang mencerminkan realitas masyarakat yang beragam, termasuk keragaman profesi yang bukan hanya berasal dari hakim agung, melainkan juga dari kalangan profesional lainnya yang dapat diajukan oleh pemerintah atau masyarakat.
 
Hadir dalam kesempatan itu Hakim Agung Suhadi yang turut menjadi pembicara. Suhadi mengungkapkan jalur nonkarier dibuka karena MA membutuhkan keilmuan khusus. Kehadiran nonkarier ini diharapkan dapat meningkatkan mutu dan memberikan bobot pada setiap putusan MA. Misalnya, hakim agung nonkarier tersebut ahli dalam bidang hukum pidana pencucian uang, hukum perbankan, perpajakan, hukum bisnis, hukum lingkungan, hak asasi manusia, dan sebagainya.
 
“Jalur non karier dulu dibuka karena MA membutuhkan keahlian atau keilmuan hukum tertentu. Pada kenyataannya, banyak masukan dari hakim di bawah kalau Hakim Agung yang masuk ke MA lewat jalur nonkarier itu ternyata biasa saja keilmuannya. Oleh karena itu KY dan MA perlu duduk bersama untuk membahas permasalahn hakim jalur nonkarier ini,” beber Suhadi.
 
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa MA sependapat atas pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016. Hal itu didasarkan kepada Keputusan Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 bahwa Ketua MA telah memberlakukan sistem kamar pada MA. Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar didasarkan pada keahlian mereka.
 
Dalam kesempatan sama, mantan Ketua MA Bagir Manan berpendapat, hakim agung nonkarier awal mulanya sebagai penyeimbang bagi hakim agung dari jalur karier di MA. Ia menegaskan, sistem rekrutmen hakim agung telah dipilih, meski tidak sempurna.
 
“Tidak ada sistem yang sempurna. Bila sudah dipilih, maka harus dijalankan. Yang dibutuhkan adalah komitmen antara KY dan MA serta DPR. Hakim agung terpilih haruslah yang terbaik memenuhi kapasitas dan integritas,” pungkas Bagir.
 
Selain ketiga pembicara tersebut, hadir pula mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dan akademisi dari Universitas Charles Darwin Australia Danial Kelly. (KY/Festy/Jaya)

Berita Terkait