Masyarakat Perlu Didorong Laporkan Pelanggaran KEPPH
Dosen dan praktisi hukum Universitas Pasundan (Unpas) Absar Kartabrata pada Workshop “Peran Komisi Yudisial dan Masyarakat dalam Meningkatkan Efektivitas Pengawasan Perilaku Hakim” di Auditorium Pascasarjana Universitas Pasundan, Bandung, Jumat (11/10).

Bandung (Komisi Yudisial) - Banyaknya kekecewaan masyarakat terhadap kinerja peradilan menjadi catatan yang perlu ditindaklanjuti. Tidak cukup hanya pengawasan saja, karena begitu banyak istilah-istilah hukum yang masyarakat tidak paham sehingga perlu dilakukan pendekatan yang sistemik.
 
“Untuk itu, masyarakat perlu sadar bahwa masalah peradilan itu adalah masalah kita bersama. Bukan permasalahan insan, sehingga harus diberi pendekatan sistem,” ujar Dosen dan praktisi hukum Universitas Pasundan (Unpas) Absar Kartabrata pada Workshop “Peran Komisi Yudisial dan Masyarakat dalam Meningkatkan Efektivitas Pengawasan Perilaku Hakim” di Auditorium Pascasarjana Universitas Pasundan, Bandung, Jumat (11/10). 
 
Menurut Absar, sistem peradilan ada dua variabel yang bisa jadi catatan. Pertama, speedy of justice. Peradilan harus memandu pencari keadilan dengan sederhana, cepat, dan berbiaya murah. 
 
Untuk itu, perlu dikembangkan peradilan berbasis teknologi informasi yang dapat memutus kontak langsung antara masyarakat dan penyelenggara peradilan.
 
“Mudah-mudahan dengan e-court bisa memutus kontak langsung antara aparat dengan masyarakat,” jelas Absar.
 
Absar menjelaskan, variabel kedua adalah terkait independence of judicial. Perwujudan negara hukum bebas dari intervensi baik internal atau eksternal. 
 
“Masih banyaknya hakim yang terjerat OTT menandakan bahwa kekuatan ekonomi masih memengaruhi peradilan kita,” jelas Absar.
 
Absar berpendapat, hakim dengan kewenangannya yang begitu besar seharusnya bisa memutuskan suatu permasalahan sekalipun tidak ada undang-undangnya.
 
Berikanlah perkara yang tepat kepada hakim, sekalipun undang-undangnya tidak ada. Bagaimana hakim bisa memutuskan sesuai budaya yang ada di masyarakat.
 
Absar menambahkan, salah satu bentuk pengawasan yang tepat adalah pengawasan dalam bentuk substansi melalui eksaminasi putusan.
 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan budayawan Yesmi Anwar mengatakan sejarah peradilan kita menempatkan hakim, jaksa, dan polisi itu dalam posisi konflik.
 
"Konflik itu dipelihara agar peradilan bisa dikendalikan eksekutif. Sebaliknya, budaya peradilan kita menjadi makin subur yang memiliki dualisme," ujar Yesmi.
 
Menurut Yesmi, dalam situasi kegamangan, peradilan bisa menjadi faktor kriminogen. Justru peradilan yang membuat terjadinya kriminalisasi dalam bentuk politik dan sebagainya.
 
Masyarakat jangan dibebani untuk pengawasan hakim, karena masyarakat dengan bentuk heterogennya akan sulit untuk mengawasi dan membuktikan.
 
“Ada sinergisitas antara KY dan masyarakat untuk memperkuat peradilan bersih,” harap Yesmi.
 
Esensinya adalah ada sesuatu yang bisa digali untuk menumbuhkan keberanian masyarakat mencari keadilan. Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan masyarakat yang perlu didorong agar mau melaporkan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perikaku Hakim (KEPPH) ke KY.
 
“Tidak dalam masyarakat yang mengawasi. Yang perlu diransang adalah masyarakat mau melaporkan ke KY,” tegas Yesmi.
 
Yesmi mengatakan, hakim juga dianggap sebagai budayawan karena diharapkan mampu menggali nilai-nlai yang ada di masyarakat. Hakim dalam bekerja harus juga berdasarkan naluri. 
 
“Untuk menjadi hakim harus pintar dan jujur. Hakim adalah benteng untuk memelihara rasa keadilan," pungkasnya. (KY/Jaya/Festy)

Berita Terkait